Kenthongan terbuat dari bahan sederhana yaitu seruas bambu yang di bagian tengah dilobangi memanjang ini awalnya sebagai alat komunikasi antarwarga. Di kala masyarakat sedang melakukan ronda malam, alat ini menjadikan sarana yang cukup membantu. Masing-masing peronda membawa kenthongan dan ditabuh seolah bersaut-sautan yang sekaligus menandakan bahwa antarpetugas ronda sama-sama saling bersiaga dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai alat komunikasi tradisional, tentu saja untuk menabuh kenthongan supaya mempunyai arti dari simbol-simbol suara yang kumandangkan alat alami ini, maka ada beberapa cara menabuh kenthongan. Dari kesepakan warga – terutama di desa-desa sebagian besar di Jawa yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu dapat diketahui bahwa setiap menabuh kenthongan mempunyai teknik yang menghasilkan bunyi atau tanda/simbol yang memiliki arti tersendiri. Artinya, setiap jenis pukulan kenthong mempunyai maksud supaya dimengerti oleh warga di sekitarnya.
Misalnya kenthong raja pati menandakan bahwa di sekitar kampung/desa setempatada pembunuhan, demikian pula jika kentongan dipukul dua kali berturut-turut dengan sela atau jeda menandakan ada maling atau pencuri masuk di lokasi setempat. Tiga kali pukulan kentongan berturut-turut dengan jeda menandakan bahwa di sekitar kampung/desa ada kebakaran (rumah terbakar).
Sedangkan untuk menyebarkan informasi bencana alam atau banjir bandangkenthongan dipukul empat kali berturut-turut diselingi waktu jeda. Bunyi kentong titiryaitu lima kali pukulan berturut-turut dengan waktu jeda sejenak menandakan bahwa di kampung setempat ada pencurian (hewan). Sedangkan bunyi kenthong dara mulukyaitu satu kali pukulan diselingi jeda dan diteruskan pukulan delapan kali berturut-turut dengan spasi atau jeda ditambah pukulan satu kali menunjukkan suasana atau situasi dan kondisi kampung/desa dalam keadaan aman.